SURUH – Permainan tradisional mulai perlahan tergerus dengan permainan modern. Mahasiswa KKN IAIN Tulungagung di Desa Suruh Kecamatan Suruh Trenggalek tergerak untuk melestarikan permainan tersebut. Salah satunya, engklek. Mahasiswa melestarikannya pada anak-anak di sekolah.

“Tap, tap, tap.” Suara telapak kaki anak kecil yang beradu dengan lantai. Kaki-kaki yang mungil meloncat-loncat melewati petak demi petak yang membentuk sebuah pola. Pola yang sudah lama ada dan diketahui oleh banyak orang, bahkan orang tua dari anak kecil yang tengah melompati petak-petak berpola itu.

Dahulu petak-petak yang berpola itu seringkali membuat anak-anak berkumpul dan berlomba. Lomba yang sama sekali tak mengeluarkan biaya. Cukup dengan mengikuti aturan yang ada dan tak melakukan kecurangan saja.

Orang-orang biasa menyebut petak-petak berpola dan memiliki aturan itu dengan nama engklek. Sebuah permainan tradisional yang pada perjalan waktunya semakin jarang dimainkan oleh anak-anak.

Permainan yang sesungguhnya begitu murah—lebih tepatnya gratis–dan mudah dibuat, tetapi semakin hari semakin sepi peminatnya, atau bahkan penikmatnya, kecuali hanya bermain dalam angan-angan—sepertinya tak semua yang gratis itu banyak peminatnya.

“Hiya… Ngidek garis! Mati!” (Menginjak garis! Gagal!) Teriak anak-anak yang selalu memandang dengan cermat setiap lompatan dan penjejakan kaki dari anak lain yang sedang memainkan gilirannya dengan pandangan yang seakan-akan tak ingin sedikitpun kecolongan.

Secara rela-tak rela anak yang menginjak garis itupun keluar dari gilirannya dan diganti dengan anak lainnya demi mengikuti aturan yang ada. Dalam permainan ini, pemain dilarang untuk menginjak garis. Selain itu, pemain juga dilarang untuk menginjak gaco permaninan, baik milik sendiri atau pemain lain.

Anak Sekolah Dasar Melempar Gaco

Gaco merupakan alat yang digunakan untuk menandai putaran yang telah dimainkan oleh pemiliknya. Gaco akan dilemparkan ke dalam petak-petak berpola secara bertahap, dari yang paling dekat (petak pertama) hingga yang paling jauh (petak terakhir).

Saat melemparkan gaco, posisi pemain berada di luar petak dan dekat dengan petak pertama. Pemain harus melemparkannya dengan badan tegap atau tidak membungkuk. Gaco yang dilemparkan tidak boleh keluar dari petak. Jika keluar, pemain dianggap gagal dan diganti dengan pemain lain.

Berfoto Bersama

“Ye, menang.” ucap anak kecil yang telah menyelesaikan semua putaran. Dia berkata dengan bangga walau tak ada hadiah yang diberikan kepadanya. Sebuah kepuasan karena dapat menaklukkan tantangan dari sebuah permainan.

Permainan dikatakan telah ditaklukkan (selesai) jika ada salah satu pemain yang telah berhasil menyelesaikan semua putaran. Putaran yang setiap satu kalinya ditandai dengan gaco yang secara bertahap melewati kotak demi kotak tanpa melewatkan satu kotak pun.

“Wah, hebat… Kalah aku. Yoh, ayo, poto sek kene.” Ucap seorang mahasiswa yang dikalahkan oleh anak SD dalam sebuah permainan. Nyatanya, kadang usia tak mampu menjadi patokan antara keberhasilan dengan kegagalan seseorang.

Para pemain engklek itupun kemudian berkumpul dan berfoto bersama. Tak ada jarak antara yang gagal (kalah) dengan yang berhasil (menang). Mereka semua berdekatan dalam sebuah foto dengan pigura kebersamaan. (*)

Close
LP2M UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

LP2M UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

Friday, May 3, 2024